Bilah panjang lentur dengan
seutas tali dan mata kail diujungnya, tersadar rapi di dinding ruang rumah.
Ngeri aku melihat ujung joran, yang berkilat tertimpa lampu. Tapi yag lebih
mengerikan, joran-joran pancing tu membuat suamiku lupa diri.
Ya, hal yang semula kukira
sekadar hobi, begitu mendarah daging bahkan digilainya. Pancing-pancing itu
begitu di”tuhankan”nya. Dielus-elunya tiap hari, bahkan hingga jauh malam. Ia
lebih rela lapar, dari pada tak bisa pergi mincing. Adzan yang berkumandang pun
tak juga membuatnya bisa beranjak dari hadapan jpran-joran itu. Seolah ada
magnet yang menahannya untuk bersujud.
Memancing adalah hobinya sejak
muda. Tepatnya saat kuliah. Begitulah pengakuannya. Semula hanya diajak teman.
Kemudian iseng sendiri, lama-lama ketagihan. Awal menikah denganku, hobinya
masih bisa kutolelir. Sebab suami hanya melakukan sesekali, itupun makan waktu
seharian tanpa bisa diganggu. Aku maklum dan bisa memahami, mungkin ia ingin
mencari suasana baru di sela kesibukannya. Refreshing. Toh ia tak
meninggalkan shalatnya.
Namun sejak ia mulai masuk
dunia professional, sering clubbing bersama teman-temannya, dia berubah.
Awalnya aku takmenyadari itu, sebab ia pandai menutupinya. Ternyata aku
kecolongan….
Saat aku menemukannya ia sangat
jauh berubah kini. Ia sering meninggalkan tempat usaha kami tanpa setahuku. Ia
memasrahkannya pada karyawan tanpa mengontrolnya. Aku tak tahu sama sekali
tentang hal itu. Karena begitulah komitmen yang kami buat. Ia mengurus usaha
dan bertanggung jawab penuh, sementara aku mengurus rumah juga anak-anak. Aku
justru tahu dari orang lain saat keadaan usaha kami sedang diambang maut.
Aku sempat mengingatkan suami.
Tapi ia tak menggubrisnya. Ia hanya diam dan berlalu. Perihnya lgi, ketika
waktu shalat tiba ia justru sibuk dengan joran-jorannya. Hamper aku marah
melihatnya, ku coba sabar.
“mas
adzan tuh. Shalat dulu, nanti dilanjutkan lagi.” ia berlalu setengah hati. Sejenak berikutnya aku beranjak ke ruang
belakang. Apa yang kulihat? Suamiku justru asik nonkrong dengan rokoknya.
“sejak
kapan ngrokoknya?”
“kalau
mincing malam kan dingin. Sesekali bolehdong buat menghalau dingin.” Jawabnya terdengar datar.
“mas
kalau boleh aku ngomong, pancing dan hobimu itu sudah membuatmu berubah. Bikin
kamu sakit, lupa tanggung jawab lupa shalat, nggak perhatian pada
keluarga….” Belum lagi sesesai bicara, ia
membentakku.
“tahu
apa kamu! Ini urusanku”
Maghrib itu berlalu dengan ketegangan.
Berkali-kali kuucap istighfar panjang. Sementara empat anakku menangis
ketakutan melihat suamiku marah. Semenjak itu, mereka makin jauh dari ayahnya.
Tiap melihat ayahnya mereka berlari menjauh, sedih hatiku rasanya. Apakah
suamiku tak emmbaca kerinduan mereka?
Hari-hari
di rumahku beku. Mertuaku sampai ikut turun tangan melihat kelakuan anaknya
yang kelewatan. Kami kehilangan usaha kami, lepas kelima-limanya. Usaha yang
kurintis dengan susah payah. Kami pailit. Bahkan untuk makanpun dibantu mertua.
Seolah, kakek-nenek yang membayarkan. Aku berjualan sayur keliling padahal, aku
hamil anak kelima.
Dalam
doaku aku selalu memohon Allah membuka hati suamiku. Agar ia berubah dan
menyadari kesalahannya. Mengembalikan ia seperti dulu. Hamper lima belas tahun
kujalani dera batin itu. Bahkan juga karena semangat mertua dan orang tua, jika
bukan karena doa mereka, jika bukan karena anak-anak, aku tak mungki kuat
bertahan selama itu. Tak henti aku mengadu pada Allah siang malam.
Lima
belas tahun kemudian Allah beru menjawab doaku. Itu bermula dari kisah tragis
yang terjadi bersamaan dalam satu hari.suamiku jatuh dibendungan saat
memancing, padahal waktu menjelang maghrib. Ia sempat diingatkan penduduk
setempat.
“nggak
pulang pak, mau Maghrib, pamali.”
“sudah
biasa pak, tanggung sebentar lagi”, jawab
suamiku. Entah bagaimaa mulanya, ia merasa ngantuk dan tercebur waduk. Dan ia
tak bisa berenang sama sekali! Air yang tinggi membuat teman-temannya tak
segera memberi pertolongan. Suamiku berjuang dengan maut. Ia seperti ditarik
kebawah. Dalam perjuangannya seluruh tubuhnya penuh mata kail. Antara sadar dan
tidak, ia melihat dirinya dalam kobaran api. Sebentar tubuhnya ditarik keatas
dengan mata kail, dimasukkan kea pi lagi. Begitu terus menerus. Satu yang
diingatnya, ia berusaha menyelamatkan diri dari siksa itu. Hingga entah
bagaimana, bapak yang menegurnya tadi telah meraihnya ke sisi waduk. Suamiku
pucat pasi ketakutan. Air banyak ia telan. Alhamdulillah, ia selamat.
Ia pulang diatar teman. Dan
entah bagaimana pula anakku yang berumur empat tahun bisa menelan mata kail
lengkap dengan tali dan joran yang masih menempel!! Padahal kala itu, aku telah
dibuat panic dengan keadaan suami. Kepanikan pun bertambah. Aku tak bisa
menahan tangisku. Begitupun suamiku. Meski lemas ia berusaha bangun.
Ia memaksa ikut mengantar
kerumah sakit. Sementara sikecil tak henti menangis. Suamiku gelisah. Tak
sedikitpun ia melepaskan sikecil dari dekapannya.
“maafkan
mama ya Nak, maafkan Papa. Seumua karena papa…”
Malam itu juga anakku menjalani
operasi. Lega semua berjalan lancer. Dua hari ia di rumah sakit. Saat aku
membawanya pulang ke rumah, apa yang kulihat? Joran-joran berhaga jutaan itu
taka da lagi di dinding dan sudut-sudut rumah. Lenyap tanpa bekas.
Usaha
kami kembali, suamiku kembali. Kebersamaan kami kembali. Semoga hingga ahir
hayat kami. Alhamdulillah ala kulli hal.(***)
Majalah
nikah sakinah vol.11 no.8, dzulhijjah 1433





0 komentar:
Posting Komentar